ANALISIS CERPEN “MATINYA SEORANG
DEMONSTRAN”
MENGGUNAKAN KAJIAN STRUKTURAL DAN
SEMIOTIK
Diajukan sebagai salah satu
syarat lulus dalam mata kuliah
Kajian Prosa Fiksi
Oleh
MUHAMMAD IQBAL
A1D1 14 131
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Hingga saat ini Perkembangan karya sastra cukup dinamis.
Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya karya sastra yang lahir dari para
kreatornya. Karya sastra merupakan suatu objek yang cukup menarik untuk dikaji.
Banyak hal yang bisa diungkapkan dari karya sastra tersebut. Terkadang banyak
hal yang sengaja disembunyikan sang kreator di dalam karyanya terhadap
pembacanya, sehingga perlu pengkajian yang mendalam untuk mengungkapkannya.
Kajian sastra adalah sebuah kegiatan mempelajari
unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam sebuah karya sastra yang bertolak
dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu (Aminudin 1995:39). Maka itu,
secara sederhana dapat dikatakan bahwa kegiatan mengkaji karya sastra adalah
sebuah kegiatan yang akan melibatkan teori dan cara kerja tertentu disertai
dengan menggunakan sebuah pendekatan tertentu.
Karya sastra sebagai buah piker manusia telah lama, sejak
jaman nenek moyang menjadi pewarna yang baik dalam membangun system
budaya dalam masyarakat, para penggiat sastra adalah para polisi norma yang
melakukan kritik terhadap perilaku manusia terhadap alam dan sesama. Dengan
media sastra baik itu prosa maupun puisi, para pelaku sastra meniru alam dan
isinya (mimetic) dan melakukan pemikiran yang mendalam dan analisis terhadap
kehidupan karena pada akhirnya para penyair adalah para filsuf yang mencari
kehidupan.
Dalam cerpen “Matinya
Seorang Demonstran” adalah sebuah bentuk ekspresi tidak langsung maka
dari itu dalam bentuk karya sastra baik puisi maupun prosa, bahasa yang
menjadi mediumnya tidak hanya sebatas bahasa sebagai Langue (bahasa dalam
system linguistic) namun juga menjadi mempunyai “makna” dalam sastra yang dapat
merefleksikan banyak hal dan multi tafsir.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini
adalah “ apa saja analisis isi cerpen matinya seorang demonstran karya Agus
Noor dengan menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan semiotik?”
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan analisis pada isi cerpen
matinya seorang demonstran karya Agus Noor dengan menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan semiotik.
1.4. Batasan Operasional
1.
Pendekatan Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda
dan lambang dalam kehidupan manusia.
2.
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya
tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sastra
Banyak ahli yang mendefenisikan
pengertian sastra berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Namun inti
pendefinisiannya tidak keluar dari konsep sastra itu sendiri, sebab pada hakekatnya,
segala bentuk karya sastra baik yang berbentuk lisan maupun tulisan diciptakan
yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.
Kata Sastra dalam perkembangannya berasal
dari bahasa Sanskerta. Kemudian, kata sastra
dipakai dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) dengan makna “karangan”. Kata sastra itu membawa makna aslinya seperti
itu ketika kata sastra masuk ke dalam
wilayah bahasa Indonesia. Untuk mengatakan suatu karangan atau tulisan yang
indah, bagus, baik, dipakailah tambahan su
di depannya sehingga menjadi susastra
yang berarti “karangan yang indah” atau
“tulisan yang baik”. Untuk menunjukkan benda kumpulan tulisan yang indah atau
karangan yang indah itu ditambahkanlah konfik ke-an sehingga terbentuklah kata kesusastraan. Jadi, kesusastraan adalah kumpulan karangan
atau tulisan yang indah, yang baik, yang bagus (Tasai, 2003:1).
Karya
sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis
dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah
manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas.Pembaca sastra
dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya
sendiri.
2.2 Pengertian Prosa Fiksi
Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa
juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi atau cerita
berplot. Jadi pengertian prosa fiksi ialah kisah atau cerita yang diemban oleh
pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian
cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga
menjalin suatu cerita . rumusan yang dipaparkan itu ialah rumusan dalam artian
konvensional karena sebuah prosa fiksi seringkali justru anti cerita dan tidak
berplot. Dalam bentuk prosa fiksi yang non konvensional itu, tujuan pengarang
umumnya hanya ingin menampilkan gagasan secara aktual lewat karya prosa yang
ditampilkannya. Untuk meahaminya, pembaca harus memilki bekal ilmu humanitas
terutama psikologi dan filsafat.
Sebagi salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1)
pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa
bahasa, (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun
karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain, dalam
memaparkan isi tersebut, pengarang akan memaparkannya leawat (1) penjelasan
atau komentar, (2) dialog maupun monolog, (3) lewat action
Karya fiksi lebih lanjut dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk baik itu roman,
novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya
fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita,
kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri.
Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk karya fiksi maupun
cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam
unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh sebab itulah, hasil telaah
suatu roman, misalnya pemahaman ataupun keterampilan lewat telaah itu, dapat
juga diterapkan baik dalam rangka menelaah novel maupun cerpen.
2.3. Pengertian Cerita Pendek(Cerpen)
Cerpen merupakan salah satu jenis
karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita mengenai manusia beserta seluk
beluknya lewat tulisan pendek dan singkat. Atau pengertian cerpen yang lainnya
yaitu sebuah karangan fiktif yang berisi mengenai kehidupan seseorang ataupun
kehidupan yang diceritakan secara ringkas dan singkat yang berfokus pada suatu
tokoh saja.
Cerita pendek biasanya mempunyai
kata yang kurang dari 10.000 kata atau kurang dari 10 halaman saja. Selain itu,
cerpen atau cerita pendek hanya memberikan sebuah kesan tunggal yang demikian
serta memusatkan diri pada salah satu tokoh dan hanya satu situasi saja.
Menurut KBBI, Cerpen
berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai
bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang diceritakan
pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan
serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut.
2.4. Pengertian Kajian Semiotik
Semiotika
(juga disebut studi semiotik dan
dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna
keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis),
indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan
komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk
sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik.
Secara leksikal, semiotik adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia, sedangkan
semiotika adalah ilmu atau teori tentang lambang dan tanda (bahasa, lalu
lintas, kode morse, dsb); atau semiologi adalah ilmu tentang semiotik (KBBI
2007). Semiotik (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu
yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa
Yunani=tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg,
1984:44).
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang
yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan
yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaiutu Charles
Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama
semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering
dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis
dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak
dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
2.5. Pengertian Kajian Struktural
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik,
yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra
dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom
dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala
hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural
mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra
sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh
(Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural
adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis
unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari
relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai
kebulatan makna. Pendekatan struktural meliputi:
Tema sering dimaknai
sebagai inti dari cerita. Semua cerita yang dibangun berpusat pada tema. Tema
adalah masalah hakiki manusia seperti cinta kasih, kekuatan, kebahagiaan,
kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya. Karena gagasan utama dari suatu
cerpen biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai
perasaan.
Alur atau plot adalah
pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang menunjukkan adanya hubungan
kausalitas. Plot memegang peranan yang sangat penting dalam cerita. Fungsinya untuk
memberi penguatan dalam proses membangun cerita. Secara teoritis, plot biasaya
dikembangkan dalam urutan – urutan tertentu.
Tokoh dan penokohan
merupakan salah satu unsur penting dalam prosa. Istilah tokoh digunakan untuk
menunjuk pada orangnya atau pelaku dalam cerita. Istilah penokohan untuk
melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita. Berdasarkan peran tokoh dalam suatu cerita, tokoh dibedakan menjadi
tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu, tokoh dapat dibedakan ke dalam
tokoh protagonis dan tokoh antagonis jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh.
Tokoh protagonis biasa dikenal sebagai tokoh yang baik sedangkan tokoh
antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
Latar atau setting disebut
juga sabagai landas lampu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan. Unsur latar atau setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok
yang meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial.
Sudut pandang adalah
posisi atau kedudukan pengarang dalam membawakan cerita. Menurut Abrams, sudut
pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tidakan, latar, dan
sebagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Usaha
pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sasrta. Namun, pada
dasarnya mereka berpendapat sama, yakni posisi pengarang sebagai orang pertama,
orang ketiga, atau bahkan campuran.
Gaya Bahasa Sebuah cerpen
umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan, yaitu narasi dan dialog. Kedua
bentuk itu hadir sacara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi
tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Gaya narasi merupakan
penuturan yang bukan bentuk percakapan, artinya pengarang menyampaikan secara
langsung atau bersifat menceritakan. Sedangkan gaya dialog atau percakan,
seolah pengarang membiarkan pembaca utuk melihat dan mendengarkan sendiri kata
– kata tokoh dalam cerita.
Amanat adalah pesan atau
kesan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang
bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin
kita terhadap hidup. Amanat juga bisa diartikan sebagai nilai – nilai positif
yang terkandung dalam sebuah cerita yang pantas untuk dicontoh.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode
penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, karena
tujuan penelitian untuk mendeskripsikan analisis pada cerpen “Matinya seorang
demonstran” karya Agus Noor dengan menggunakan
pendekatan struktural dan pendekatan semiotik.
3.2. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian
kepustakaan karena data penelitian ini diperoleh dari bahan bacaan yang relevan
berupa cerita pendek.
3.3. Data dan Sumber Data
Data
dalam penelitian ini adalah cerpen “Matinya seorang demonstran” karya Agus
Noor. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen KOMPAS,
hal 17-25.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa teknik baca
dan catat, yaitu data diperoleh dari hasil membaca dan mencatat informan yang
sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
3.4. Teknik Analisis Data
Pendekatan
yang digunakan adalah analisis isi. Dasar pelaksanaan metode analisis isi
adalah penafsiran. Dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan
perhatian pada isi pesan. Penelitian menekankan bagaimana memaknakan isi
komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa
komunikasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Cerpen “Matinya
seorang Demonstran” Karya Agus Noor
PAHLAWAN
hanyalah pecundang yang beruntung. Ratih selalu tak bisa melupakan kata-kata
itu setiap kali melewati jalan ini. Telah banyak yang berubah. Tak ada lagi
deretan kios koran, warung gado-gado, dan penjual bensin eceran di pojokan.
Bangunan kuno asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi kanan telah menjadi
ruko bergaya modern. Waktu mengubah gedung-gedung, tapi tidak mampu mengubah
kenangannya.
Ratih tersenyum membaca nama jalan
itu. Teringat apa yang dikatakan Eka. ”Banyak orang ingin jadi pahlawan, agar
namanya dijadikan nama jalan. Mungkin, itulah satu-satunya keberuntungan
menjadi pahlawan di negara ini.” Ada sinisme dalam kata-katanya. Tapi itulah,
yang ketika pertama kali bertemu dalam satu diskusi, membuatnya suka pada Eka.
Dia selalu menarik perhatian dengan pernyataan-pernyataan yang disertai
kelakar. ”Militerisme pasti mati di Republik ini. Dan aku adalah orang sipil
pertama yang akan menjadi Panglima ABRI. Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi
Bintang Tujuh. Lumayan, bisa buat obat sakit kepala…” Saat itu Presiden
Soeharto memang baru mendapat gelar Jenderal Besar Bintang Lima. Dan Bintang
Tujuh adalah merek puyer obat sakit kepala.
Ratih kemudian tahu, Eka seorang
penulis. Mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri. ”Aku kurang flamboyan
sebagai aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil berorasi di mimbar.
Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona para demonstran.
”Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan, ada yang memikirkan. Aku memilih yang
kedua,” katanya. ”Mimbar dan panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar
hanya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu turun panggung,
mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”
Ratih ingat ketika Eka mengantar
pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka
yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya nonton karena dia
pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang menurut Ratih terlalu sok
filosofis: bagaimana seseorang mesti berani meneguk racun untuk membela
pemikiran yang diyakininya. Penulisnya seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia
adalah mahasiswa filsafat yang merasa lebih hebat dari Socrates yang dipujanya.
”Lakon yang kamu tulis itu membuktikan kamu memandang hidup ini getir. Makanya
selalu sinis.”
”Sinis
bagaimana?”
”Ya,
hampir semua hal kamu tanggapi dengan nyinyir…”
”Jangan
salah,” Eka menatapnya tajam. ”Kamu harus membedakan antara filsuf dan orang
biasa. Kalau orang biasa sinis, akan dianggap nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis,
itu disebut kritis.”
”Gundulmu,
Ka!!
Eka
tertawa dan memeluk pundaknya. Entah kenapa, saat itu ia tak mencoba mengelak.
Laki-laki romantis adalah laki-laki
yang bisa membuat perempuan tertawa. Ratih teringat kalimat di sebuah buku:
menikahlah dengan laki-laki pertama yang membuatmu tertawa. Ia lupa judulnya.
Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam
Jumat. Tidak membawa bunga, tapi martabak. ”Pertama, mesti kutegaskan,”
katanya. ”Aku sengaja datang malam Jumat, karna tahu, malam Minggu kamu sudah
milik orang lain. Aku tak berhak mengganggunya. Seseorang yang bahagia adalah
seseorang yang diberi kesempatan memilih dalam hidup. Maka aku memberimu
kesempatan, agar kamu bisa memilih sendiri kebahagiaanmu. Tak perduli, apakah
bagimu nantinya aku pilihan kedua atau pertama.”
”Jadi
kamu tahu aku sudah punya pacar?”
”Kalau
perempuan semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada selera
semua laki-laki di dunia ini.”
Ratih
tertawa.
”Dan
kedua, soal martabak ini. Sebagai anak kost, aku mesti yakin, bahwa aku tidak
membelikanmu sesuatu yang akan sia-sia. Itu sebabnya aku membawakanmu
martabak.”
”Kenapa?”
”Karna
bila kamu tak suka, aku bisa memakannya sendiri.”
Ia memang tak suka martabak. Hanya
mencicip sepotong untuk basa-basi, selebihnya Eka yang menghabiskan. Sejak itu
(seperti yang selalu diistilahkan Eka) dia menjadi ”pemilik malam Jumat”. Sebab
”pemilik malam Minggu” adalah Munarman, mahasiswa ekonomi sefakultas yang sudah
dua tahun menjadi pacar Ratih. Keduanya kutub yang bertolak belakang.
Munarman–lebih suka di panggil
Arman–bertubuh tegap atletis. Seorang yang selalu tak ingin ketinggalan
baju-baju yang sedang menjadi mode di majalah popular. Eka ringkih dan selalu
tampak kucel dengan kaos yang seminggu bisa dipakainya terus-menerus. Dia punya
argumen: jauh lebih berguna menghabiskan waktu untuk membaca buku dari pada
untuk mencuci baju. Arman selalu mengajaknya ke kafe, diskotik atau ramai-ramai
karaokean dengan kawan-kawan gaulnya. Bila mengajaknya keluar, Eka membawanya
ke acara-acara diskusi, pembacaan puisi, pameran lukisan atau sampai larut
menghabiskan sepoci teh di warung deket kampus. Seringkali malah hanya jalan kaki,
menyusuri jalanan tanpa tujuan. ”Jalan kaki ini bukan perkara idiologi,” kata
Eka, ”tapi karena aku memang tak punya mobil.” Terdengar sinis seperti biasa.
Seakan ditujukan pada Arman yang memang selalu menjemput Ratih dengan mobil
terbarunya.
Arman anak purnawirawan Kolonel
Angkatan Darat. Ayah Eka guru Sekolah Dasar Inpres di sebuah desa–yang dalam
ungkapan Eka sendiri disebutnya ”tak akan pernah pantas dimasukkan dalam peta
Indonesia saking terbelakangnya”. Arman selalu pamer pangkat orangtuanya. ”Orang-orang
seperti ayahkulah yang memiliki negara ini,” kelakar Arman yang kerap
diulangnya dengan nada bangga. Eka begitu menghormati kemiskinan ayahnya. ”Aku
ingin menjadi filsuf karena merasakan nasib ayahku. Seorang yang dalam hidupnya
sanggup menanggung dua penderitaan sekaligus. Pertama, karena ia guru. Kau tahu
nasib guru di negara ini, kan? Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua,
karena ia beristri perempuan yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan
menindas. Penindasan paling kontemplatif selalu datang dari seorang istri. Itu
sebabnya ayahku selalu murung dan termenung. Nah, kini kau tahu, kenapa aku
mengagumi ayahku dan Socrates! Itulah alasan filosofis, kenapa aku memilih
masuk Fakultas Filsafat. Alasan idiologisnya, karena aku tertindas. Sedang
alasan praktisnya, karena jurusan filsafat tak banyak peminatnya.”
Ratih sering bertanya pada dirinya
sendiri, kenapa ia bisa menyukai dua laki-laki itu? Mungkin karena bersama
Arman ia menikmati hidup. Sementara dengan Eka ia merasa ada sesuatu yang mesti
diperjuangkan dalam hidup.
Di bulan-bulan penuh demonstrasi
menjelang reformasi, ia sering mencemaskan Eka. Aparat semakin keras dan
represif menghadapi para mahasiswa yang turun ke jalan menuntut Soeharto
mundur. Berkali-kali terjadi bentrokan dan aparat tak hanya menembakkan gas air
mata. Lima mahasiswa terluka tertembak peluru karet, dalam satu bentrokan di
bundaran kampus. Seorang mahasiswa yang sedang memotret dihajar puluhan aparat,
tubuhnya yang sudah terkapar terus ditendang, kameranya diinjak-ijak. Tubuh
mahasiswa yang sudah berdarah-darah itu diseret lebih dari 100 meter di aspal
jalan yang panas sambil terus ditendangi dan dipukuli dengan pentungan.
Sementara
usai demonstrasi menutup jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan Kalijaga, delapan
kawan mahasiswa diciduk aparat. Kabarnya mereka disekap di Kodim. Beberapa
aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan
tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan.
Beberapa orang dianggap sebagai intel militer yang disusupkan. Eka mengajaknya
ke pertemuan itu. Daulay, Ata, Toriq, Maria, Seno, Budiman, Semendawai, Afnan,
Damai, Leyla, Rizal, Rahzen, dan beberapa yang hadir tak bisa menyembunyikan
ketegangannya, bicara dengan nada tinggi, membentak dan saling tuding.
”Secepatnya
kita harus melakukan lobby untuk membebaskan kawan-kawan kita.”
”Biar
intel militer kayak kamu yang urus!”
Seseorang
menggebrak meja. Ratih tak melihat jelas siapa. Ia agak sembunyi di belakang
Eka.
”Ada
yang sudah dapat kabar keadaan mereka?”
”Tenang,”
kata Eka. ”Penjara, akan membuktikan tangguh tidaknya mereka. Lagi pula,
penjara justru meningkatkan martabat para pembangkang.”
Penjara. Sering Ratih merasa ngeri
setiap membayangkan pada akhirnya Eka akan mengalaminya. Sanggupkah tubuh Eka
yang kurus menahan siksaan disetrum, dibaringkan di atas balok es semalaman,
dijepit jempolnya dengan tang atau digampar popor senapan? Eka memeluknya
ketika Ratih mengungkapkan kecemasannya. Malam itu pertama kali Ratih menginap
di kamar kost Eka. ”Kekuatan manusia bukan pada tubuhnya, tapi jiwanya,” kata
Eka. ”Kau sudah baca novel Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis? Pada akhirnya
bukan hasil yang muda, bersemangat, dan tampak kuat yang mampu bertahan oleh
siksaan. Tapi Guru Isa yang tua, kelihatan lemah dan impotent.” Malam itu Ratih
merasakan badan Eka hangat dan gemetar. Eka tak bisa menyembunyikan kegugupan
ketika mulai menciuminya. Ratih tahu, itu bukan kegugupan laki-laki yang baru
tidur pertama kali dengan perempuan.
Demonstrasi nyaris terjadi setiap
hari. Ia sering bersama Eka malam-malam keluar masuk gang-gang menyebarkan
selebaran. Seperti gerilyawan kota, kata Eka. Sementara Arman mulai
terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. ”Jangan dikira aku tak tahu
hubunganmu dengan Eka,” katanya. ”Persetan dengan politik! Tapi pada akhirnya
aku yakin, kamu akan memilih aku. Terlalu beresiko kamu hidup dengan Eka.
Pertama, kamu akan menderita. Kedua, kamu cepat jadi janda. Eka pasti akan mati
diculik atau diracun. Karna begitulah nasib aktivis.”
Bila
Ratih semakin cemas, itu bukan karna ucapan Arman, tapi rasanya memang ada yang
tak akan pernah mungkin mampu ditanggungnya bila ia terus dekat Eka. Ibu pun
sudah mulai tak suka setiap kali Eka datang ke rumah. Berita-berita demonstrasi di televisi membuat ibu melarangnya
pergi. Ia tak menyalahkan. Itu perasaan wajar seorang ibu yang telah
bertahun-tahun hidup sendirian mencemaskan anak perempuan satu-satunya.
Ratih
sedang makan malam dengan ibunya ketika bentrokan antara mahasiswa dan aparat
di jalan tak jauh dari rumah terus berlangsung hingga selepas isya. Mahasiswa
yang berdemonstrasi sejak pagi terus bertahan menutup jalan hingga malam.
Semakin malam semakin banyak warga yang ikut bergabung. Aparat membubarkan
paksa, dengan menembakkan gas air mata. Truk-truk yang mengangkut pasukan terus
menderu melintas, suaranya terdengar dari rumah Ratih. Serentetan suara senapan
dan ledakan sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa hingga ke
dalam rumahnya. Beberapa demonstran beberapa kali terlihat berlarian masuk ke
dalam gang samping. Aparat menggedor-gedor pintu, mencari mahasiswa yang
sembunyi di dalam rumah penduduk. Saat itulah Ratih mendengar pintu diketuk.
Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata Arman.
Dia buru-buru masuk dengan gugup. Dia bercerita kalau dirinya terjebak di
tengah-tengah kerusuhan ketika menuju ke mari. Di jalan ada dua panser yang
memblokade jalan. Mobilnya digebrak-gebrak dan diancam hendak dibakar. Mobil ia
tinggalkan, dan segera berlari menyelamatkan diri. Ibu memberinya segelas air
putih. Tangan Arman gemetaran memegangi gelas.
Baru tengah malam bentrokan mereda.
Karena merasa sudah aman, Arman pamit pada ibu untuk melihat mobilnya sekalian
mau beli rokok. Ada dua hal yang tak gampang diduga: nasib dan politik. Esok
siangnya Ratih mendengar kabar yang tak pernah dibayangkan. Arman mati
tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan kembali memanas di jalan itu dan
aparat dengan serampangan melepaskan tembakan. Ratih juga tak lagi bertemu Eka
setelah bentrokan yang terus berlangsung hingga subuh itu. Tak ada yang tahu ke
mana Eka. Kawan-kawannya yakin Eka diculik, dan tak jelas nasibnya.
Begitu lulus kuliah, Ratih memilih
pergi dari kota ini. Berusaha melupakan ingatan pahit itu. Hanya pulang
sesekali untuk menengok ibunya. Dan setiap kali pulang, mau tak mau ia pasti
melewati jalan ini, dan kenangan itu selalu muncul kembali. Dulu ia mengenal
jalan ini sebagai Jalan Sutowijayan. Kini bernama Jalan Munarman. Pecundang
memang sering kali lebih beruntung.
4.2. Kajian Struktural Cerpen “Matinya
Seorang Demonstran” Karya Agus Noor
4.2.1.
Tema
Tema cerpen “Matinya seorang demonstran”
merupakan cerpen yang mengangkat kisah tentang bukan sesuatu yang berjasa
tetapi namanya dikenang.
4.2.2.
Alur
Cerpen Matinya Seorang demonstran dibangun
dengan alur mundur. Gambaran alur dalam cerpen yaitu tokoh Ratih selalu mengingat kenangannya
tentang tokoh Eka. Hal tersebut tampak pada kutipan:
“Ratih ingat
ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium
Fakultas Filsafat. Eka yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka
mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang
menurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti berani meneguk
racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penulisnya seperti hanya ingin
menunjukkan bahwa ia adalah mahasiswa filsafat yang merasa lebih hebat dari
Socrates yang dipujanya.”
Dan
terlihat pula pada kutipan :
“Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke
rumahnya pertama kali pada malam Jumat.”
4.2.3.
Tokoh dan Penokohan
1.
Deskripsi tokoh-tokoh dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran
Cerpen Matinya Seorang Demonstran karya
Agus Noor menampilkan tokoh utama yaitu: Ratih, dan kemudian berkembang dengan
tokoh Eka, Munarman(Arman), dan Ibu Ratih.
Cerpen
Matinya Seorang Demonstran menempatkan tokoh Ratih sebagai pusat bagi pengarang
untuk mengungkapkan cerita. Tokoh Ratih merupakan tokoh sentral yang mengalami
banyak peristiwa dalam keterlibatannya dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran.
2.
Perwatakan Tokoh
Setiap tokoh yang ada dalam cerpen
Matinya Seorang Demonstran memiliki watak yang berbeda – beda.
·
Deskripsi tokoh Ratih seperti dalam
kutipan tersebut:
“Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya
nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis”
“Ratih ingat ketika Eka mengantar
pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat”
“Bila Ratih semakin cemas, itu
bukan karna ucapan Arman, tapi rasanya memang ada yang tak akan pernah mungkin
mampu ditanggungnya bila ia terus dekat Eka.”
Berdasarkan
kutipan diatas, dapat diketahui bahwa tokoh Ratih adalah orang peyakin, selalu
mengingat kejadian yang pernah dialaminya, dan seorang yang khawatir.
·
Deskripsi tokoh Eka,
“Ratih kemudian
tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri. ”Aku
kurang flamboyan sebagai aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil
berorasi di mimbar. Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona
para demonstran. ”Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan, ada yang memikirkan.
Aku memilih yang kedua,” katanya. ”Mimbar dan panggung itu godaan. Banyak yang
tampil di mimbar hanya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu
turun panggung, mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”
”Kalau perempuan
semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada selera semua laki-laki di dunia ini.”
“Eka begitu
menghormati kemiskinan ayahnya. ”Aku ingin menjadi filsuf karena merasakan
nasib ayahku. Seorang yang dalam hidupnya sanggup menanggung dua penderitaan
sekaligus. Pertama, karena ia guru. Kau tahu nasib guru di negara ini, kan?
Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua, karena ia beristri perempuan
yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan menindas. Penindasan paling
kontemplatif selalu datang dari seorang istri. Itu sebabnya ayahku selalu
murung dan termenung. Nah, kini kau tahu, kenapa aku mengagumi ayahku dan
Socrates! Itulah alasan filosofis, kenapa aku memilih masuk Fakultas Filsafat. Alasan
idiologisnya, karena aku tertindas. Sedang alasan praktisnya, karena jurusan
filsafat tak banyak peminatnya.”
Berdasarkan
kutipan diatas, dapat diketahui bahwa tokoh Eka mempunyai watak seorang aktivis
yang suka
menyendiri,
penggombal, suka bercanda dan sederhana.
·
Deskripsi tokoh Munarman
“Arman
selalu pamer pangkat orangtuanya. ”Orang-orang seperti ayahkulah yang memiliki
negara ini,” kelakar Arman yang kerap diulangnya dengan nada bangga.”
“Sementara
Arman mulai terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. ”Jangan dikira aku
tak tahu hubunganmu dengan Eka,” katanya. ”Persetan dengan politik! Tapi pada
akhirnya aku yakin, kamu akan memilih aku. Terlalu beresiko kamu hidup dengan
Eka. Pertama, kamu akan menderita. Kedua, kamu cepat jadi janda. Eka pasti akan
mati diculik atau diracun. Karna begitulah nasib aktivis.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat
diketahui bahwa tokoh Munarman mempunyai watak menyombongkan diri dengan
memamerkan, dan seorang pencemas.
·
Deskripsi tokoh Ibu ratih
“Ibu
pun sudah mulai tak suka setiap kali Eka datang ke rumah. Berita-berita
demonstrasi di televisi membuat ibu melarangnya pergi. Ia tak menyalahkan. Itu
perasaan wajar seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian
mencemaskan anak perempuan satu-satunya.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat
diketahui bahwa tokoh Ibu Ratih mempunyai watak pencemas.
3. Latar
·
Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah
kapan peristiwa itu terjadi dan diceritakan. Peristiwa dalam cerpen Matinya
Seorang Demonstran terjadi dimasa menjelang Reformasi. Latar waktu yang
disajikan Dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran sebagian besar menggunakan
latar:
Latar waktu
pada malam hari, terbukti dalam kutipan:
“Yang
tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat.”
“Malam
itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka.”
“Baru
tengah malam bentrokan mereda.”
“Ia
sering bersama Eka malam-malam keluar masuk gang-gang menyebarkan selebaran.
Seperti gerilyawan kota, kata Eka”
“Ratih
sedang makan malam dengan ibunya ketika bentrokan antara mahasiswa dan aparat
di jalan tak jauh dari rumah terus berlangsung hingga selepas isya.”
Latar waktu pada siang hari, terbukti dalam kutipan:
“Esok
siangnya Ratih mendengar kabar yang tak pernah dibayangkan. Arman mati
tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan kembali memanas di jalan itu dan
aparat dengan serampangan melepaskan tembakan.”
Latar waktu pada Subuh hari, terbukti dalam kutipan:
“Ratih
juga tak lagi bertemu Eka setelah bentrokan yang terus berlangsung hingga subuh
itu.”
·
Latar Tempat
Jalan, terbukti dalam kutipan:
“Ratih
tersenyum membaca nama jalan itu.
“Aparat
semakin keras dan represif menghadapi para mahasiswa yang turun ke jalan
menuntut Soeharto mundur
”Ketika
bentrokan kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan melepaskan
tembakan
Auditorium Fakultas Filsafat, terbukti dalam kutipan:
“Ratih
ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di
Auditorium Fakultas Filsafat.
Rumah Ratih, terbukti dalam kutipan:
“Yang
tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat.
“Saat
itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia
mengintip dari celah korden, ternyata Arman.
Bundaran kampus, terbukti dalam kutipan:
“Lima
mahasiswa terluka tertembak peluru karet, dalam satu bentrokan di bundaran
kampus.
Jalan pertigaan depan kampus IAIN
Sunan Kalijaga, terbukti dalam
kutipan:
“Sementara
usai demonstrasi menutup jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan Kalijaga,
delapan kawan mahasiswa diciduk aparat.
Kodim, terbukti dalam kutipan:
“Kabarnya
mereka disekap di Kodim.
Rumah kontrakan di Gang Rode, terbukti dalam kutipan:
“Beberapa
aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan
tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan.
Kamar kost Eka, terbukti dalam kutipan:
“Malam
itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka
·
Latar suasana
Suasana menegangkan, didukung
dalam kutipan:
“Beberapa
aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan
tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan.”
“Saat
itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia
mengintip dari celah korden, ternyata Arman. Dia buru-buru masuk dengan gugup.
Dia bercerita kalau dirinya terjebak di tengah-tengah kerusuhan ketika menuju
ke mari.”
Suasana Mencekam, didukung dalam
kutipan :
“Serentetan
suara senapan dan ledakan sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa
hingga ke dalam rumahnya.”
4. Sudut pandang
Sudah
dijelaskan bahwa sudut pandang merupakan cara pengarang memposisikan diri dalam
cerita. Setiap pengarag memiliki kekhasan masing – masing dalam penyajian
cerita olahannya. Sudut Pandang sendiri memiliki pengertian sebagai cara
pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan
pengarang dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran adalah sudut pandang orang
ketiga.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen
Matinya Seorang Demonstran adalah bahasa indonesia yang diasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan tentunya mudah diterima bagi pembaca.
6. Amanat
Amanat
yang terkandung dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran adalah sebagai berikut:
1. Janganlah keluar rumah apabila
sedang ada kekacauan
2. Jangan menilai orang hanya
dari satu sisi saja
3. Hiduplah sederhana dan
syukurilah hidup yang engkau berikan
4. Jangan hidup bermewahan sebab
itu yang akan membuatmu merasa sombong
5. Saling membantu dalam
kesusahan
4.3 Kajian
Semiotik Cerpen “Matinya Seorang Demonstran” karya Agus Noor
1. PAHLAWAN hanyalah pecundang
yang beruntung
PAHLAWAN
hanyalah pecundang yang beruntung makna dari kutipan tersebut adalah seorang
yang bukan pahlawan tetapi beruntung
namanya dipakai sebagai nama jalan. Karea kebanyakan nama pahlawan dipakaikan
sebagai nama jalan.
2.Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi
Bintang Tujuh.
Tak
hanya dapat Bintang Lima Tapi Bintang Tujuh bermakna bintang lima adalah
pangkat tertinggi di ABRI sedangkan bintang tujuh adalah merek puyer obat sakit
kepala.
3. Sejak itu (seperti yang selalu
diistilahkan Eka) dia menjadi ”pemilik malam Jumat”.
Maksud
dari pemilik malam jumat, yaitu waktu yang dimiliki Eka untuk bersama Ratih
adalah pada malam jumat.
4. Sebab ”pemilik malam Minggu”
adalah Munarman,
Maksud
pemilik malam Minggu adalah Munarman, yaitu pada malam minggu waktu untuk Munarman
bersama denga Ratih.
5. Rapat gelap
Rapat
gelap bermakna rapat yang dilakukan oleh secara sembunyi-sembunyi oleh Eka dan
kawan-kawannya saja..
6. Secepatnya kita harus
melakukan lobby untuk membebaskan kawan-kawan kita.
Makna
melakukan lobby disini adalah kegiatan yang dilakukan untuk mempengaruhi orang
lain agar kawan-kawan Eka dapat dibebaskan
7. Digampar popor senapan,
bermakna dipukuli dengan menggunakan gagang senapan
8. Persetan dengan politik
Persetan
dengan politik bermakna yaitu Munarman memandang tidak penting dengan adanya
politik dan tidak suka dengan adanya politik
9. Seorang ibu yang telah
bertahun-tahun hidup sendirian
Seorang
ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian bermakna Ibu Ratih yang telah
menjanda bertahun-tahun.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Cerpen Matinya Seorang Demonstran
karya Agus Noor adalah cerpen yang sangat menarik. Cerpen ini bercerita tentang
kisah mahasiswa pada masa reformasi. Mengkaji cerpen dengan kajian analisis
struktural dapat melihat apa saja unsur-unsur instrinsik yang membangun sebuah
cerpen. Perlunya mengkaji cerpen ini dengan kajian semiotik dapat mengetahui
makna-makna yang terkandung dalam cerpen ini.dengan mengetahui itu maka pembaca
dapat mengetahui lebih dalam lagi apa pesan yang disampaikan oleh pengarang
dalam cerpen tersebut.
Saran
Penelitian ini mengkaji struktural
dan semiotik dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran. Namun, masih banyak yang
masih perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam lagi tentang cerpen-cerpen yang
ada. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar para calon peneliti dapat
meneliti cerpen sebagai tindak lanjut sebelumnya. Selain itu, penulis
menyarankan agar pesan yang ada dalam cerpen dapat diterapkan dalam masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA