Jumat, 01 Juli 2016

Pengertian sastra menurut para ahli



          Pengertian sastra menurut para ahli
Ø Mursal Esten (1978:9)
            Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia(dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium efek yang positif terhadap kehidupan manusia(kemanusiaan)

Ø Semi (1988:8)
             Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Ø Panuti sudjiman (1986:68)
            Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya

Ø Engleton (1988:4)
            Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan, dan diterbalikkan.

Ø Menurut kaum formalisme rusia
            Sastra adalah sebagai gubahan bahasa yang bermaterikan kata-kata dan berumber dari imajinasi atau emosi pengarang

Ø Lefevere
       Sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal dan sosial sekaligus serta kemanusiaan yang sejajar dengan bentuk hidup itu sendiri
Ø Plato
            Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model knyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.

Ø Sapardi (1979:1)
            Sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Ø Taum (1997:13)
            Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain.

Ø Suyitno
            Sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif, dan inventif juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggung jawabkan.

Ø Tarigan
            Sastra adalah merupakan objek bagi pengarang dalam mengungkapkan gejolak emosinya, misalnya perasaan sedih, kecewa, senang, dan lain sebagainya.

Ø Damono
            Mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.



Ø Fananie
            Mengatakan: “bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan kemampuan aspek keindahan yang baik yang didasarkan aspek kebahasan maupun aspek makna.

Ø Sumarno dan saini
            Sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa

Ø Ahmad badrun
             Berpendapat bahwa kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif

Ø Menurut sumardjo dan sumaini definisi sastra yaitu:
1.      Sastra adalah seni bahasa
2.      Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam
3.      Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa
4.      Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan
5.      Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan manusia yang benar dan kebenaran moral dalam sentuhan kesucian,keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona

ANALISIS CERPEN “MATINYA SEORANG DEMONSTRAN” MENGGUNAKAN KAJIAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK







ANALISIS CERPEN “MATINYA SEORANG DEMONSTRAN”
MENGGUNAKAN KAJIAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK




Diajukan sebagai salah satu syarat lulus dalam mata kuliah
Kajian Prosa Fiksi
Oleh
MUHAMMAD IQBAL
A1D1 14 131



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016






BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
            Hingga saat ini Perkembangan karya sastra cukup dinamis. Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya karya sastra yang lahir dari para kreatornya. Karya sastra merupakan suatu objek yang cukup menarik untuk dikaji. Banyak hal yang bisa diungkapkan dari karya sastra tersebut. Terkadang banyak hal yang sengaja disembunyikan sang kreator di dalam karyanya terhadap pembacanya, sehingga perlu pengkajian yang mendalam untuk mengungkapkannya.
            Kajian sastra adalah sebuah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam sebuah karya sastra yang bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu (Aminudin 1995:39). Maka itu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kegiatan mengkaji karya sastra adalah sebuah kegiatan yang akan melibatkan teori dan cara kerja tertentu disertai dengan menggunakan sebuah pendekatan tertentu.
            Karya sastra sebagai buah piker manusia telah lama, sejak jaman  nenek moyang menjadi pewarna yang baik dalam membangun system budaya dalam masyarakat, para penggiat sastra adalah para polisi norma yang melakukan kritik terhadap perilaku manusia terhadap alam dan sesama. Dengan media sastra baik itu prosa maupun puisi, para pelaku sastra meniru alam dan isinya (mimetic) dan melakukan pemikiran yang mendalam dan analisis terhadap kehidupan karena pada akhirnya para penyair adalah para filsuf yang mencari kehidupan.
            Dalam cerpen “Matinya Seorang Demonstran” adalah sebuah bentuk ekspresi tidak langsung  maka dari itu dalam bentuk karya sastra baik puisi maupun prosa, bahasa yang menjadi mediumnya tidak hanya sebatas bahasa sebagai Langue (bahasa dalam system linguistic) namun juga menjadi mempunyai “makna” dalam sastra yang dapat merefleksikan banyak hal dan multi tafsir.

1.2. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “ apa saja analisis isi cerpen matinya seorang demonstran karya Agus Noor dengan menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan semiotik?”

1.3. Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan analisis pada isi cerpen matinya seorang demonstran karya Agus Noor dengan menggunakan  pendekatan struktural dan pendekatan semiotik.
1.4. Batasan Operasional
1. Pendekatan Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia.
2. Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam.

                                                                                BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sastra
            Banyak ahli yang mendefenisikan pengertian sastra berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Namun inti pendefinisiannya tidak keluar dari konsep sastra itu sendiri, sebab pada hakekatnya, segala bentuk karya sastra baik yang berbentuk lisan maupun tulisan diciptakan yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.
Kata Sastra dalam perkembangannya berasal dari bahasa Sanskerta. Kemudian, kata sastra dipakai dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) dengan makna “karangan”. Kata sastra itu membawa makna aslinya seperti itu ketika kata sastra masuk ke dalam wilayah bahasa Indonesia. Untuk mengatakan suatu karangan atau tulisan yang indah, bagus, baik, dipakailah tambahan su di depannya sehingga menjadi susastra yang berarti “karangan yang indah”  atau “tulisan yang baik”. Untuk menunjukkan benda kumpulan tulisan yang indah atau karangan yang indah itu ditambahkanlah konfik ke-an sehingga terbentuklah kata kesusastraan. Jadi, kesusastraan adalah kumpulan karangan atau tulisan yang indah, yang baik, yang bagus (Tasai, 2003:1).
            Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas.Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
           
2.2 Pengertian Prosa Fiksi
            Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi atau cerita berplot. Jadi pengertian prosa fiksi ialah kisah atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita . rumusan yang dipaparkan itu ialah rumusan dalam artian konvensional karena sebuah prosa fiksi seringkali justru anti cerita dan tidak berplot. Dalam bentuk prosa fiksi yang non konvensional itu, tujuan pengarang umumnya hanya ingin menampilkan gagasan secara aktual lewat karya prosa yang ditampilkannya. Untuk meahaminya, pembaca harus memilki bekal ilmu humanitas terutama psikologi dan filsafat.
            Sebagi salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain, dalam memaparkan isi tersebut, pengarang akan memaparkannya leawat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, (3) lewat action
            Karya fiksi lebih lanjut dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh sebab itulah, hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman ataupun keterampilan lewat telaah itu, dapat juga diterapkan baik dalam rangka menelaah novel maupun cerpen. 

2.3. Pengertian Cerita Pendek(Cerpen)
            Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita mengenai manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan pendek dan singkat. Atau pengertian cerpen yang lainnya yaitu sebuah karangan fiktif yang berisi mengenai kehidupan seseorang ataupun kehidupan yang diceritakan secara ringkas dan singkat yang berfokus pada suatu tokoh saja.
            Cerita pendek biasanya mempunyai kata yang kurang dari 10.000 kata atau kurang dari 10 halaman saja. Selain itu, cerpen atau cerita pendek hanya memberikan sebuah kesan tunggal yang demikian serta memusatkan diri pada salah satu tokoh dan hanya satu situasi saja. Menurut KBBI, Cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut.

2.4. Pengertian Kajian Semiotik
            Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik.
            Secara leksikal, semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia, sedangkan semiotika adalah ilmu atau teori tentang lambang dan tanda (bahasa, lalu lintas, kode morse, dsb); atau semiologi adalah ilmu tentang semiotik (KBBI 2007). Semiotik (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani=tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44).
            Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaiutu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semi­otik (Pradopo, 2005:119).

2.5. Pengertian Kajian Struktural
            Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Pendekatan struktural meliputi:
            Tema sering dimaknai sebagai inti dari cerita. Semua cerita yang dibangun berpusat pada tema. Tema adalah masalah hakiki manusia seperti cinta kasih, kekuatan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya. Karena gagasan utama dari suatu cerpen biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai perasaan.
            Alur atau plot adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas. Plot memegang peranan yang sangat penting dalam cerita. Fungsinya untuk memberi penguatan dalam proses membangun cerita. Secara teoritis, plot biasaya dikembangkan dalam urutan – urutan tertentu.
            Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam prosa. Istilah tokoh digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku dalam cerita. Istilah penokohan untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Berdasarkan peran tokoh dalam suatu cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh. Tokoh protagonis biasa dikenal sebagai tokoh yang baik sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
            Latar atau setting disebut juga sabagai landas lampu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan. Unsur latar atau setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yang meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial.
            Sudut pandang adalah posisi atau kedudukan pengarang dalam membawakan cerita. Menurut Abrams, sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tidakan, latar, dan sebagai peristiwa  
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sasrta. Namun, pada dasarnya mereka berpendapat sama, yakni posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga, atau bahkan campuran.
            Gaya Bahasa Sebuah cerpen umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan, yaitu narasi dan dialog. Kedua bentuk itu hadir sacara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Gaya narasi merupakan penuturan yang bukan bentuk percakapan, artinya pengarang menyampaikan secara langsung atau bersifat menceritakan. Sedangkan gaya dialog atau percakan, seolah pengarang membiarkan pembaca utuk melihat dan mendengarkan sendiri kata – kata tokoh  dalam cerita.
            Amanat adalah pesan atau kesan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin kita terhadap hidup. Amanat juga bisa diartikan sebagai nilai – nilai positif yang terkandung dalam sebuah cerita yang pantas untuk dicontoh.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
            Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, karena tujuan penelitian untuk mendeskripsikan analisis pada cerpen “Matinya seorang demonstran” karya Agus Noor dengan menggunakan  pendekatan struktural dan pendekatan semiotik.       

3.2. Jenis Penelitian
            Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian kepustakaan karena data penelitian ini diperoleh dari bahan bacaan yang relevan berupa cerita pendek.

3.3. Data dan Sumber Data
            Data dalam penelitian ini adalah cerpen “Matinya seorang demonstran” karya Agus Noor. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen KOMPAS, hal 17-25.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa teknik baca dan catat, yaitu data diperoleh dari hasil membaca dan mencatat informan yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.

3.4. Teknik Analisis Data
            Pendekatan yang digunakan adalah analisis isi. Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan perhatian pada isi pesan. Penelitian menekankan bagaimana memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Cerpen “Matinya seorang Demonstran” Karya Agus Noor
PAHLAWAN hanyalah pecundang yang beruntung. Ratih selalu tak bisa melupakan kata-kata itu setiap kali melewati jalan ini. Telah banyak yang berubah. Tak ada lagi deretan kios koran, warung gado-gado, dan penjual bensin eceran di pojokan. Bangunan kuno asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi kanan telah menjadi ruko bergaya modern. Waktu mengubah gedung-gedung, tapi tidak mampu mengubah kenangannya.
            Ratih tersenyum membaca nama jalan itu. Teringat apa yang dikatakan Eka. ”Banyak orang ingin jadi pahlawan, agar namanya dijadikan nama jalan. Mungkin, itulah satu-satunya keberuntungan menjadi pahlawan di negara ini.” Ada sinisme dalam kata-katanya. Tapi itulah, yang ketika pertama kali bertemu dalam satu diskusi, membuatnya suka pada Eka. Dia selalu menarik perhatian dengan pernyataan-pernyataan yang disertai kelakar. ”Militerisme pasti mati di Republik ini. Dan aku adalah orang sipil pertama yang akan menjadi Panglima ABRI. Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi Bintang Tujuh. Lumayan, bisa buat obat sakit kepala…” Saat itu Presiden Soeharto memang baru mendapat gelar Jenderal Besar Bintang Lima. Dan Bintang Tujuh adalah merek puyer obat sakit kepala.
            Ratih kemudian tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri. ”Aku kurang flamboyan sebagai aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil berorasi di mimbar. Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona para demonstran. ”Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan, ada yang memikirkan. Aku memilih yang kedua,” katanya. ”Mimbar dan panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar hanya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu turun panggung, mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”
            Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang menurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti berani meneguk racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penulisnya seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia adalah mahasiswa filsafat yang merasa lebih hebat dari Socrates yang dipujanya. ”Lakon yang kamu tulis itu membuktikan kamu memandang hidup ini getir. Makanya selalu sinis.”
”Sinis bagaimana?”
”Ya, hampir semua hal kamu tanggapi dengan nyinyir…”
”Jangan salah,” Eka menatapnya tajam. ”Kamu harus membedakan antara filsuf dan orang biasa. Kalau orang biasa sinis, akan dianggap nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis, itu disebut kritis.”
”Gundulmu, Ka!!
Eka tertawa dan memeluk pundaknya. Entah kenapa, saat itu ia tak mencoba mengelak.
            Laki-laki romantis adalah laki-laki yang bisa membuat perempuan tertawa. Ratih teringat kalimat di sebuah buku: menikahlah dengan laki-laki pertama yang membuatmu tertawa. Ia lupa judulnya. Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat. Tidak membawa bunga, tapi martabak. ”Pertama, mesti kutegaskan,” katanya. ”Aku sengaja datang malam Jumat, karna tahu, malam Minggu kamu sudah milik orang lain. Aku tak berhak mengganggunya. Seseorang yang bahagia adalah seseorang yang diberi kesempatan memilih dalam hidup. Maka aku memberimu kesempatan, agar kamu bisa memilih sendiri kebahagiaanmu. Tak perduli, apakah bagimu nantinya aku pilihan kedua atau pertama.”
”Jadi kamu tahu aku sudah punya pacar?”
”Kalau perempuan semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada selera semua laki-laki di dunia ini.”
Ratih tertawa.
”Dan kedua, soal martabak ini. Sebagai anak kost, aku mesti yakin, bahwa aku tidak membelikanmu sesuatu yang akan sia-sia. Itu sebabnya aku membawakanmu martabak.”
”Kenapa?”
”Karna bila kamu tak suka, aku bisa memakannya sendiri.”
            Ia memang tak suka martabak. Hanya mencicip sepotong untuk basa-basi, selebihnya Eka yang menghabiskan. Sejak itu (seperti yang selalu diistilahkan Eka) dia menjadi ”pemilik malam Jumat”. Sebab ”pemilik malam Minggu” adalah Munarman, mahasiswa ekonomi sefakultas yang sudah dua tahun menjadi pacar Ratih. Keduanya kutub yang bertolak belakang.
            Munarman–lebih suka di panggil Arman–bertubuh tegap atletis. Seorang yang selalu tak ingin ketinggalan baju-baju yang sedang menjadi mode di majalah popular. Eka ringkih dan selalu tampak kucel dengan kaos yang seminggu bisa dipakainya terus-menerus. Dia punya argumen: jauh lebih berguna menghabiskan waktu untuk membaca buku dari pada untuk mencuci baju. Arman selalu mengajaknya ke kafe, diskotik atau ramai-ramai karaokean dengan kawan-kawan gaulnya. Bila mengajaknya keluar, Eka membawanya ke acara-acara diskusi, pembacaan puisi, pameran lukisan atau sampai larut menghabiskan sepoci teh di warung deket kampus. Seringkali malah hanya jalan kaki, menyusuri jalanan tanpa tujuan. ”Jalan kaki ini bukan perkara idiologi,” kata Eka, ”tapi karena aku memang tak punya mobil.” Terdengar sinis seperti biasa. Seakan ditujukan pada Arman yang memang selalu menjemput Ratih dengan mobil terbarunya.
            Arman anak purnawirawan Kolonel Angkatan Darat. Ayah Eka guru Sekolah Dasar Inpres di sebuah desa–yang dalam ungkapan Eka sendiri disebutnya ”tak akan pernah pantas dimasukkan dalam peta Indonesia saking terbelakangnya”. Arman selalu pamer pangkat orangtuanya. ”Orang-orang seperti ayahkulah yang memiliki negara ini,” kelakar Arman yang kerap diulangnya dengan nada bangga. Eka begitu menghormati kemiskinan ayahnya. ”Aku ingin menjadi filsuf karena merasakan nasib ayahku. Seorang yang dalam hidupnya sanggup menanggung dua penderitaan sekaligus. Pertama, karena ia guru. Kau tahu nasib guru di negara ini, kan? Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua, karena ia beristri perempuan yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan menindas. Penindasan paling kontemplatif selalu datang dari seorang istri. Itu sebabnya ayahku selalu murung dan termenung. Nah, kini kau tahu, kenapa aku mengagumi ayahku dan Socrates! Itulah alasan filosofis, kenapa aku memilih masuk Fakultas Filsafat. Alasan idiologisnya, karena aku tertindas. Sedang alasan praktisnya, karena jurusan filsafat tak banyak peminatnya.”
            Ratih sering bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa menyukai dua laki-laki itu? Mungkin karena bersama Arman ia menikmati hidup. Sementara dengan Eka ia merasa ada sesuatu yang mesti diperjuangkan dalam hidup.
            Di bulan-bulan penuh demonstrasi menjelang reformasi, ia sering mencemaskan Eka. Aparat semakin keras dan represif menghadapi para mahasiswa yang turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Berkali-kali terjadi bentrokan dan aparat tak hanya menembakkan gas air mata. Lima mahasiswa terluka tertembak peluru karet, dalam satu bentrokan di bundaran kampus. Seorang mahasiswa yang sedang memotret dihajar puluhan aparat, tubuhnya yang sudah terkapar terus ditendang, kameranya diinjak-ijak. Tubuh mahasiswa yang sudah berdarah-darah itu diseret lebih dari 100 meter di aspal jalan yang panas sambil terus ditendangi dan dipukuli dengan pentungan.
Sementara usai demonstrasi menutup jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan Kalijaga, delapan kawan mahasiswa diciduk aparat. Kabarnya mereka disekap di Kodim. Beberapa aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan. Beberapa orang dianggap sebagai intel militer yang disusupkan. Eka mengajaknya ke pertemuan itu. Daulay, Ata, Toriq, Maria, Seno, Budiman, Semendawai, Afnan, Damai, Leyla, Rizal, Rahzen, dan beberapa yang hadir tak bisa menyembunyikan ketegangannya, bicara dengan nada tinggi, membentak dan saling tuding.
”Secepatnya kita harus melakukan lobby untuk membebaskan kawan-kawan kita.”
”Biar intel militer kayak kamu yang urus!”
Seseorang menggebrak meja. Ratih tak melihat jelas siapa. Ia agak sembunyi di belakang Eka.
”Ada yang sudah dapat kabar keadaan mereka?”
”Tenang,” kata Eka. ”Penjara, akan membuktikan tangguh tidaknya mereka. Lagi pula, penjara justru meningkatkan martabat para pembangkang.”
            Penjara. Sering Ratih merasa ngeri setiap membayangkan pada akhirnya Eka akan mengalaminya. Sanggupkah tubuh Eka yang kurus menahan siksaan disetrum, dibaringkan di atas balok es semalaman, dijepit jempolnya dengan tang atau digampar popor senapan? Eka memeluknya ketika Ratih mengungkapkan kecemasannya. Malam itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka. ”Kekuatan manusia bukan pada tubuhnya, tapi jiwanya,” kata Eka. ”Kau sudah baca novel Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis? Pada akhirnya bukan hasil yang muda, bersemangat, dan tampak kuat yang mampu bertahan oleh siksaan. Tapi Guru Isa yang tua, kelihatan lemah dan impotent.” Malam itu Ratih merasakan badan Eka hangat dan gemetar. Eka tak bisa menyembunyikan kegugupan ketika mulai menciuminya. Ratih tahu, itu bukan kegugupan laki-laki yang baru tidur pertama kali dengan perempuan.
            Demonstrasi nyaris terjadi setiap hari. Ia sering bersama Eka malam-malam keluar masuk gang-gang menyebarkan selebaran. Seperti gerilyawan kota, kata Eka. Sementara Arman mulai terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. ”Jangan dikira aku tak tahu hubunganmu dengan Eka,” katanya. ”Persetan dengan politik! Tapi pada akhirnya aku yakin, kamu akan memilih aku. Terlalu beresiko kamu hidup dengan Eka. Pertama, kamu akan menderita. Kedua, kamu cepat jadi janda. Eka pasti akan mati diculik atau diracun. Karna begitulah nasib aktivis.”
Bila Ratih semakin cemas, itu bukan karna ucapan Arman, tapi rasanya memang ada yang tak akan pernah mungkin mampu ditanggungnya bila ia terus dekat Eka. Ibu pun sudah mulai tak suka setiap kali Eka datang ke rumah.        Berita-berita demonstrasi di televisi membuat ibu melarangnya pergi. Ia tak menyalahkan. Itu perasaan wajar seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian mencemaskan anak perempuan satu-satunya.
Ratih sedang makan malam dengan ibunya ketika bentrokan antara mahasiswa dan aparat di jalan tak jauh dari rumah terus berlangsung hingga selepas isya. Mahasiswa yang berdemonstrasi sejak pagi terus bertahan menutup jalan hingga malam. Semakin malam semakin banyak warga yang ikut bergabung. Aparat membubarkan paksa, dengan menembakkan gas air mata. Truk-truk yang mengangkut pasukan terus menderu melintas, suaranya terdengar dari rumah Ratih. Serentetan suara senapan dan ledakan sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa hingga ke dalam rumahnya. Beberapa demonstran beberapa kali terlihat berlarian masuk ke dalam gang samping. Aparat menggedor-gedor pintu, mencari mahasiswa yang sembunyi di dalam rumah penduduk. Saat itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata Arman. Dia buru-buru masuk dengan gugup. Dia bercerita kalau dirinya terjebak di tengah-tengah kerusuhan ketika menuju ke mari. Di jalan ada dua panser yang memblokade jalan. Mobilnya digebrak-gebrak dan diancam hendak dibakar. Mobil ia tinggalkan, dan segera berlari menyelamatkan diri. Ibu memberinya segelas air putih. Tangan Arman gemetaran memegangi gelas.
            Baru tengah malam bentrokan mereda. Karena merasa sudah aman, Arman pamit pada ibu untuk melihat mobilnya sekalian mau beli rokok. Ada dua hal yang tak gampang diduga: nasib dan politik. Esok siangnya Ratih mendengar kabar yang tak pernah dibayangkan. Arman mati tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan melepaskan tembakan. Ratih juga tak lagi bertemu Eka setelah bentrokan yang terus berlangsung hingga subuh itu. Tak ada yang tahu ke mana Eka. Kawan-kawannya yakin Eka diculik, dan tak jelas nasibnya.
            Begitu lulus kuliah, Ratih memilih pergi dari kota ini. Berusaha melupakan ingatan pahit itu. Hanya pulang sesekali untuk menengok ibunya. Dan setiap kali pulang, mau tak mau ia pasti melewati jalan ini, dan kenangan itu selalu muncul kembali. Dulu ia mengenal jalan ini sebagai Jalan Sutowijayan. Kini bernama Jalan Munarman. Pecundang memang sering kali lebih beruntung.

4.2. Kajian Struktural Cerpen “Matinya Seorang Demonstran” Karya Agus Noor
4.2.1. Tema
       Tema cerpen “Matinya seorang demonstran” merupakan cerpen yang mengangkat kisah tentang bukan sesuatu yang berjasa tetapi namanya dikenang.
4.2.2. Alur
       Cerpen Matinya Seorang demonstran dibangun dengan alur mundur. Gambaran alur dalam cerpen yaitu  tokoh Ratih selalu mengingat kenangannya tentang tokoh Eka. Hal tersebut tampak pada kutipan:
“Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang menurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti berani meneguk racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penulisnya seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia adalah mahasiswa filsafat yang merasa lebih hebat dari Socrates yang dipujanya.”
Dan terlihat pula pada kutipan :
Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat.”

4.2.3. Tokoh dan Penokohan
1. Deskripsi tokoh-tokoh dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran
       Cerpen Matinya Seorang Demonstran karya Agus Noor menampilkan tokoh utama yaitu: Ratih, dan kemudian berkembang dengan tokoh Eka, Munarman(Arman), dan Ibu Ratih.
Cerpen Matinya Seorang Demonstran menempatkan tokoh Ratih sebagai pusat bagi pengarang untuk mengungkapkan cerita. Tokoh Ratih merupakan tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran.

2. Perwatakan Tokoh
       Setiap tokoh yang ada dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran memiliki watak yang berbeda – beda.
·         Deskripsi tokoh Ratih seperti dalam kutipan tersebut:
“Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis”
“Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat”
“Bila Ratih semakin cemas, itu bukan karna ucapan Arman, tapi rasanya memang ada yang tak akan pernah mungkin mampu ditanggungnya bila ia terus dekat Eka.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa tokoh Ratih adalah orang peyakin, selalu mengingat kejadian yang pernah dialaminya, dan seorang yang khawatir.
·         Deskripsi tokoh Eka,
“Ratih kemudian tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri. ”Aku kurang flamboyan sebagai aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil berorasi di mimbar. Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona para demonstran. ”Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan, ada yang memikirkan. Aku memilih yang kedua,” katanya. ”Mimbar dan panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar hanya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu turun panggung, mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”
”Kalau perempuan semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada selera semua  laki-laki di dunia ini.”
“Eka begitu menghormati kemiskinan ayahnya. ”Aku ingin menjadi filsuf karena merasakan nasib ayahku. Seorang yang dalam hidupnya sanggup menanggung dua penderitaan sekaligus. Pertama, karena ia guru. Kau tahu nasib guru di negara ini, kan? Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua, karena ia beristri perempuan yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan menindas. Penindasan paling kontemplatif selalu datang dari seorang istri. Itu sebabnya ayahku selalu murung dan termenung. Nah, kini kau tahu, kenapa aku mengagumi ayahku dan Socrates! Itulah alasan filosofis, kenapa aku memilih masuk Fakultas Filsafat. Alasan idiologisnya, karena aku tertindas. Sedang alasan praktisnya, karena jurusan filsafat tak banyak peminatnya.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa tokoh Eka mempunyai watak seorang aktivis yang suka
menyendiri, penggombal, suka bercanda dan sederhana.
·         Deskripsi tokoh Munarman
“Arman selalu pamer pangkat orangtuanya. ”Orang-orang seperti ayahkulah yang memiliki negara ini,” kelakar Arman yang kerap diulangnya dengan nada bangga.”
“Sementara Arman mulai terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. ”Jangan dikira aku tak tahu hubunganmu dengan Eka,” katanya. ”Persetan dengan politik! Tapi pada akhirnya aku yakin, kamu akan memilih aku. Terlalu beresiko kamu hidup dengan Eka. Pertama, kamu akan menderita. Kedua, kamu cepat jadi janda. Eka pasti akan mati diculik atau diracun. Karna begitulah nasib aktivis.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa tokoh Munarman mempunyai watak menyombongkan diri dengan memamerkan, dan seorang pencemas.
·         Deskripsi tokoh Ibu ratih
“Ibu pun sudah mulai tak suka setiap kali Eka datang ke rumah. Berita-berita demonstrasi di televisi membuat ibu melarangnya pergi. Ia tak menyalahkan. Itu perasaan wajar seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian mencemaskan anak perempuan satu-satunya.”
Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa tokoh Ibu Ratih mempunyai watak pencemas.
3. Latar
·         Latar waktu
       Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan peristiwa itu terjadi dan diceritakan. Peristiwa dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran terjadi dimasa menjelang Reformasi. Latar waktu yang disajikan Dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran sebagian besar menggunakan latar:
Latar waktu pada malam hari, terbukti dalam kutipan:
“Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat.”
“Malam itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka.”
“Baru tengah malam bentrokan mereda.”
“Ia sering bersama Eka malam-malam keluar masuk gang-gang menyebarkan selebaran. Seperti gerilyawan kota, kata Eka”
“Ratih sedang makan malam dengan ibunya ketika bentrokan antara mahasiswa dan aparat di jalan tak jauh dari rumah terus berlangsung hingga selepas isya.”
Latar waktu pada siang hari, terbukti dalam kutipan:
“Esok siangnya Ratih mendengar kabar yang tak pernah dibayangkan. Arman mati tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan melepaskan tembakan.”
Latar waktu pada Subuh hari, terbukti dalam kutipan:
“Ratih juga tak lagi bertemu Eka setelah bentrokan yang terus berlangsung hingga subuh itu.”
·         Latar Tempat
Jalan, terbukti dalam kutipan:
“Ratih tersenyum membaca nama jalan itu.
“Aparat semakin keras dan represif menghadapi para mahasiswa yang turun ke jalan menuntut Soeharto mundur
”Ketika bentrokan kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan melepaskan tembakan
Auditorium Fakultas Filsafat, terbukti dalam kutipan:
“Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat.
Rumah Ratih, terbukti dalam kutipan:
“Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat.
“Saat itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata Arman.
Bundaran kampus, terbukti dalam kutipan:
“Lima mahasiswa terluka tertembak peluru karet, dalam satu bentrokan di bundaran kampus.
Jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan Kalijaga, terbukti dalam kutipan:
“Sementara usai demonstrasi menutup jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan Kalijaga, delapan kawan mahasiswa diciduk aparat.
Kodim, terbukti dalam kutipan:
“Kabarnya mereka disekap di Kodim.
Rumah kontrakan di Gang Rode, terbukti dalam kutipan:
“Beberapa aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan.
Kamar kost Eka, terbukti dalam kutipan:
“Malam itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka
·         Latar suasana
Suasana menegangkan, didukung dalam kutipan:
“Beberapa aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan.”
“Saat itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata Arman. Dia buru-buru masuk dengan gugup. Dia bercerita kalau dirinya terjebak di tengah-tengah kerusuhan ketika menuju ke mari.”
Suasana Mencekam, didukung dalam kutipan :
“Serentetan suara senapan dan ledakan sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa hingga ke dalam rumahnya.”
4. Sudut pandang
       Sudah dijelaskan bahwa sudut pandang merupakan cara pengarang memposisikan diri dalam cerita. Setiap pengarag memiliki kekhasan masing – masing dalam penyajian cerita olahannya. Sudut Pandang sendiri memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran adalah sudut pandang orang ketiga.
5. Gaya Bahasa
       Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran adalah bahasa indonesia yang diasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya mudah diterima bagi pembaca.
6. Amanat
       Amanat yang terkandung dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran adalah sebagai berikut:
1. Janganlah keluar rumah apabila sedang ada kekacauan
2. Jangan menilai orang hanya dari satu sisi saja
3. Hiduplah sederhana dan syukurilah hidup yang engkau berikan
4. Jangan hidup bermewahan sebab itu yang akan membuatmu merasa sombong
5. Saling membantu dalam kesusahan

4.3 Kajian Semiotik Cerpen “Matinya Seorang Demonstran” karya Agus Noor
1. PAHLAWAN hanyalah pecundang yang beruntung
       PAHLAWAN hanyalah pecundang yang beruntung makna dari kutipan tersebut adalah seorang yang bukan pahlawan tetapi  beruntung namanya dipakai sebagai nama jalan. Karea kebanyakan nama pahlawan dipakaikan sebagai nama jalan.
2.Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi Bintang Tujuh.
       Tak hanya dapat Bintang Lima Tapi Bintang Tujuh bermakna bintang lima adalah pangkat tertinggi di ABRI sedangkan bintang tujuh adalah merek puyer obat sakit kepala.
3. Sejak itu (seperti yang selalu diistilahkan Eka) dia menjadi ”pemilik malam Jumat”.
       Maksud dari pemilik malam jumat, yaitu waktu yang dimiliki Eka untuk bersama Ratih adalah pada malam jumat.
4. Sebab ”pemilik malam Minggu” adalah Munarman,
       Maksud pemilik malam Minggu adalah Munarman, yaitu pada malam minggu waktu untuk Munarman bersama denga Ratih. 
5. Rapat gelap
       Rapat gelap bermakna rapat yang dilakukan oleh secara sembunyi-sembunyi oleh Eka dan kawan-kawannya saja..
6. Secepatnya kita harus melakukan lobby untuk membebaskan kawan-kawan kita.
       Makna melakukan lobby disini adalah kegiatan yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain agar kawan-kawan Eka dapat dibebaskan
7. Digampar popor senapan, bermakna dipukuli dengan menggunakan gagang senapan 
8. Persetan dengan politik
       Persetan dengan politik bermakna yaitu Munarman memandang tidak penting dengan adanya politik dan tidak suka dengan adanya politik
9. Seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian
       Seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian bermakna Ibu Ratih yang telah menjanda bertahun-tahun.









BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
            Cerpen Matinya Seorang Demonstran karya Agus Noor adalah cerpen yang sangat menarik. Cerpen ini bercerita tentang kisah mahasiswa pada masa reformasi. Mengkaji cerpen dengan kajian analisis struktural dapat melihat apa saja unsur-unsur instrinsik yang membangun sebuah cerpen. Perlunya mengkaji cerpen ini dengan kajian semiotik dapat mengetahui makna-makna yang terkandung dalam cerpen ini.dengan mengetahui itu maka pembaca dapat mengetahui lebih dalam lagi apa pesan yang disampaikan oleh pengarang dalam cerpen tersebut.

Saran
            Penelitian ini mengkaji struktural dan semiotik dalam cerpen Matinya Seorang Demonstran. Namun, masih banyak yang masih perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam lagi tentang cerpen-cerpen yang ada. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar para calon peneliti dapat meneliti cerpen sebagai tindak lanjut sebelumnya. Selain itu, penulis menyarankan agar pesan yang ada dalam cerpen dapat diterapkan dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA