Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure
(1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi)
yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai
bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau
nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika
Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa
disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan
gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian
dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk
mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce
yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier,
bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai
unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata
“anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda
kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur,
2006).
Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980),
dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini,2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat
yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda
situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah
titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan
istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu
“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada
tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,
maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat
menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk
halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang
melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan
lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan
tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap
sebagai sebuah Mitos.
Charles
Sanders Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga
makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda
(sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik
yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang
merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut
Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda
yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda
adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Semiotika Michael Riffaterre
Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan
bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah
puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung,
menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan
hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram
(Riffatere dalam Salam, 2009:3).
1.
Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah
puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung.
Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang
membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam
membawakan maknanya (Faruk, 2012:141). Bahasa puisi bersifat semiotik sedangkan
bahasa sehari-hari bersifat mimetik.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya
pergeseran makna (displacing),
perusakan makna (distorsing),
dan penciptaan makna (creating)
(Riffaterre dalam Faruk, 2012:141).
a.
Pergeseran Makna (Displacing of
Meaning)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami
perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata
yang lain. Umumnya, penyebab terjadinya pergeseran makna adalah penggunaan
bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.
b.
Perusakan atau Penyimpangan Makna (Distorsing
of Meaning)
Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena
ambiguitas, kontradiksi, dan non-sense.
Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat, maupun wacana yang
disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya.
Kontradiksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Non-sense adalah kata-kata yang tidak
mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan
konteks (Salam, 2009:4).
c.
Penciptaan Makna (Creating or Meaning)
Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu
yang dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau
ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza” (Riffaterre
dalam faruk, 2012:141). Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang
teks, di antaranya: enjambemen, tipografi, dan homolog.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang
menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang
“diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas arti
atau makna liris.
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa
tidak mengandung arti tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan
homolog adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan
menimbulkan makna yang sama (Salam, 2009:5).
Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu
faktor yang senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap
sebagai representasi realitas. Representasi realitas hanya dapat diubah secara
jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau
konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon
yang menyimpang, yang disebut ketidakgramatikalan (ungrammaticality).
Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan
dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas.
Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan
segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya
struktur naratif yang tidak kronologis.
2.
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang
lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca
sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan,
pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya
sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga
akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik
sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah
pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut
tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama.
Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai
pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau
pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua,
interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan
perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap
pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai
dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap
pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta
yang berhubungan.
Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik,
perlu dibedakan pengertian makna dan arti. Riffaterre dalam Faruk (2012:141)
membedakan konsep makna dan arti. Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan
dengan realitas, yang membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistik yang
bersifat referensial dari karya disebut meaning,
yang dapat diterjemahkan sebagai “makna”, sedangkan makna yang terbangun
atas dasar prinsip kesatuan formal dan semantik dari puisi, makna yang meliputi
segala bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai significance yang dapat diterjemahkan sebagai “arti” (Faruk,
2012:142).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua informasi dalam
tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan “arti” (significance) adalah kesatuan antara
aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa makna
sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual,
sedangkan arti bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada
hal-hal di luar teks.
Pada tataran pembacaan
heuristik pembaca hanya mendapatkan “makna” sebuah teks, sedangkan “arti”
diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
3.
Matriks, Model, dan Varian
Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks
menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis
karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata,
bagian kalimat atau kalimat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan
varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks
hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah
kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu
diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi
primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks
merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada
dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks
merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata
cara pemerolehannya atau pengembangannya.
4.
Hipogram: Hubungan Intertekstual
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada
karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya
sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard
dalam Salam, 2009:7).
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon
terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau
penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar
penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam
sejarah, atau alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan
kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance).
Karena “arti” itu berpusat pada m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di
dalam puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya
tidak dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca”
ataupun “pengarang” (Faruk, 2012:147).
Menurut Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui
berbagai bentuk objektivitasnya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi
matriks atau hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah menemukan “makna”
kebahasaan dari puisi yang bersangkutan. “Makna” kebahasaan itu adalah makna
referensial yang berupa rangkaian ketidakgramatikalan (ungramatically), yaitu ketidaksesuaian antara satuan-satuan
tanda kebahasaan yang ada di dalam teks dengan gambaran mengenai kenyataan yang
diacunya. Karena “makna” ini bersifat kebahasaan, maka ia dapat ditemukan di
dalam teks puisi yang diteliti atau dibaca. Hanya saja satuan-satuan makna
kebahasaan itu sendiri belum memadai untuk membawa pembaca pada pengetahuan
mengenai “arti” melainkan hanya menjadi “pengantar” ke arahnya. Satuan-satuan
makna kebahasaan itu, yang berupa serangkaian ketidakgramatikalan tersebut,
harus dihubungkan satu sama lain secara oposisional sehingga membentuk
pasangan-pasangan oposisi yang saling ekuivalen dan bersifat paradigmatik.
Untuk membentuknya menjadi pasangan-pasangan oposisional yang paradigmatik
tersebut, pembaca harus melakukan pembacaan secara hermeneutik dan pembacaan
dengan bantuan “konvensi sastra”. Konvensi sastra berfungsi untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang dapat mempertemukan satuan-satuan
makna kebahasaan yang satu dengan yang lain, untuk melampaui secara bertahap
serangkaian ketidakgramatikalan yang ada (Faruk, 2012:148).
Teori
Roman Jackobson
Ada beberapa faktor yang di utarakan oleh Roman Jackobson
yang mempengaruhi fungsi bahasa. Yaitu factor pesan yang apabila sebuah
komunikasi ditekankan pada pesan, maka dikatakan bahwa bahasa mengandung fungsi
puitik atau fungsi estetis. Fungsi puitik ditandai oleh antara lain perulangan,
penyimpangan, penonjolan, atau keambiguan. Bila di tinjau dari segi
strukturalis semua itu menyangkut segi penanda (ekspresi) dan petanda (isi).
Jakobson mengungkapkan salah satu fungsi dari pesan-pesan tersebut adalah
penggunaan alat-alat literature sebagai metapora dan metonimi. Fungsi puitik
ini juga dapat di jumpai dalam berbagai konteks tidak hanya dalam teks sastra
saja akan tetapi dapat dijumpai dalam surat artikel surat kabar, ceramah, dan
lain sebagainya. Jakobson mengungkapkan bahwa setiap produksi verbal dapat
memiliki fungsi puitik selama memenuhi sifat-sifat atau syarat-syarat yang
telah di sebutkan di atas.
Jakobson juga berpendapat bahwa hal penting dalam fungsi
puitik bukanlah referensi, acuan di luar ungkapan bahasa itu. Pemakaian bahasa
dan kata merupakan hal yang menjadi pusat perhatian, walaupun fungsi-fungsi
lain bukan tidak ada dalam puisi. Dalam puisi, hal yang paling penting diambil
hanya pesan saja.
Dalam analisis puisi juga memperhatikan tiga aspek yakni:
ekuivalensi, metafora, dan metonimi. Dalam menganalisis puisi, Jakobson
mengemukakan bahwa pembaca perlu membedakan antara poros sintagmatik dan
paradigmatic. Pada poros sintagmatik, penyair memakai kaidah bahasanya
dengan menggabungkan (kombinasi) kata-kata sesuai dengan daya ciptanya.
Sedangkan pada poros paradigmatic, penyair melakukan seleksi dari sekian banyak
kata atau struktur sintaksis yang ia kenal dalam bahasanya. Seleksi tersebut
dilakukan berdasarkan kesepadanan (equivalence), keserupaan dan ketidakserupaan
(similarity and dissimilarity), atau kesinoniman dan keantoniman (synonymyty
and antonymity). Dengan demikian, proses seleksi sama pentingnya dengan proses
penggabungan kata.
Dua figur retorik pokok, metafora dan metonimi, merupakan
figur ekuivalensi dalam arti bahwa keduanya secara khas mengajukan suatu
entitas yang berbeda sebagai hal yang mempunyai status ekuivalensi dengan apa
yang menjadi subjek pokok figur. Dalam puisi menurut Jakobson beroperasi dua
aspek dasar struktur bahasa, yakni gambaran metaphor retoris (kesamaan) dan
metonimia (kesinambungan).
Pada garis besarnya metafora mendasarkan diri pada
persamaan atau analogi antara subjek harfiah dan substansi metaforikanya.
Istilah metafora, dapatnya mengacu pada gejala pergantian sebuah kata yang
harfiah dengan sebuah kata lain yang figurative. Dan yang menjadi penggantian
ini adalah kemiripan atau analogi di antara yang harfiah dan penggantiannya
yang metaforik.
Disamping itu, ketika kita menganalisis puisi sebuah
karya terutama puisi kita dapat memfokuskan pada dua hal yaitu poros
sintagmatik dan paradigmatic.
Mengenai poros sintagmatik, disini pengarang
mengekspresiskan sesuatu dengan mencarikan analogi atau persamaannya secara
figurative yang dapat merepresantasikan hal yang dimaksud. Disini penyair
menggabungkan kata seperti shadow,move, dancing, writing. Sehingga
tanpa kita sadari kata-kata tersebut saling berkesinambungan untuk
menjelaskan sebuah makna dan keadaan yang dimaksud oleh pengarang.
Dan berdasarkan paradigmatic, penyair disini
mengambil kata-kata yang lebih dekat atau lebih dapat mereplesikan kata yang
dimaksud. Sehingga secara teliti atau analisa, pembaca dpaat memahami tujuan
yang dimaksud.
Teori Tzvetan Todorov
Teori Membaca Tzvetan Todorov
Dalam teori membaca model Tzvetan
Todorov disebutkan adanya tiga unsur yang hadir dalam kegiatan membaca,
meliputi :
1.
Proyeksi
2.
Komentar, dan
3.
Puitika
Dalam proyeksi, kegiatan pembaca adalah berusaha memahami unsur-unsur
diluar teks, tetapi yang secara kongruen atau secara laras dan bersama-sama
menunjang kehadiran teks. Unsur-unsur itu antara lain meliputi kehidupan
pengarang, kehidpan sosial masyarakat yang melatari kehadiran teks sastra serta
sistem konvensi yang dianuti pengarangnya.
Bila dalam
proyeksi pembaca berusaha memahami unsur-unsur luar yang diasumsikan memiliki
hubungan dengan isi paparan dalam teks, maka dalam komentar, pembaca berusaha memahami isi paparan dalam teks itu
sendiri. Sasaran komentar tidak belaku untuk seluruh paparan, akan tetapi
terbatas pada bentuk papran yang “tersisa” dari jangkauan pemahaman pembaca.
Dalam komentar
itu kegiatan yang dilaksanakan pembaca adalah :
a. Eksplikasi
Yakni, menguraikan isi paparan yang
belum dipahami dengan jalan menghubungkannya dengan isi bagian paparan lain
yang sudah dipahami.
b. Elusidasi
Yakni, menerangjelaskan hasil uraian
isi paparan yang belum dipahami dalam kaitannya dengan bagian isi paparan yang
lainnya secara umum.
c. Précis
Yakni, meringkas uraian panjang
lebar tentang isi paparan yang belum dipahami sesuai dengan ketepatan dan keselarasannya dengan isi dalam bagian lain dari teks itu
sendiri.
Kegiatan
teakhir yang dilaksakan adalah paraphrase
Pada tahap puitika, pembaca berusaha memahami
kaidah-kaidah abstrak yang secara intrinsic terdapat dalam teks sastra itu
sendiri. Dan berbicara tentang sistem
abstrak adalah kesastraan, kita tentunya juga tidak dapat lepas dari
unsur-unsur intrinsik pembangun teks sastra tersebut sebagai suatu wacana. Oleh
sebab itulah, bila pada komentar
kegiatan membaca bersifat otomatis sekaligus sistematis karena objek yang dihadapi adalah bentuk paparan yang
bersifat objektif serta memiliki struktur
kongkret, maka dalam kegiatan membaca teks sastra yang sebenarnya,
pembaca berusaha memahami unsur pembangun sistem abstrak yang ada. Perolehan
pemahaman terhadap unsure pembangun teks yang semula unik itu, setelah dapat
dihubungkan dengan perolehan pemahaman dari kegiatan yang bersifat otomatis dan
dapat ditentukan hubungan sistemiknya, keunikan dan keabstrakannya dapat
diuraikan.
Dalam upaya
memahami makna yang terkandung dalam struktur abstrak terdapat dua kegiatan,
yakni :
1. Interpretasi
2. Deskripsi
Interpretasi terhadap makna dalam
teks sastra, dalam hal ini harus bertolak dari realitas yang ada dalam teks
sastra itu sendiri. Menurut Todorov, meskipun banyak orang yang menafsirkan
teks sastra lewat filsafat, sosiologi, maupun psikologi, pada akhirnya makna
yang diperoleh adalah makna yang hanya berhubungan dengan disiplin ilmu
tersebut masing-masing, dan bukan makna yang diperiksa oleh teks sastra itu
sendiri.
Sebab itulah setelah interpretasi,
masih terdapat tingkatan berikutnya, yaitu deskripsi. Meskipun kata deskripsi
sangat ilmiah untuk mengkaji ragam seni seperti sastra, bagi Todorov istilah
itu memiliki nuansa arti tersendiri. Bila dalam penelitian ilmiah metode
deskripsi adalah metode yang bertujuan memberikan perolehan realitas yang
diteliti apa adanya, maka tahap pendeskripsian makna dalam teks sastra
diharapkan sepenuhnya bertolak dari makna yang terkandung dalam teks sastra itu
sendiri.
Bagi Todorov adalah lebih baik
berspekulasi, sambil juga meraba-raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran
diri, daripada merasa memiliki pemahaman tetapi masih buta, dan nekat bergerak
membabi buta.