Kamis, 30 Juni 2016

Kajian Semiotik Menurut para Ahli

Ferdinand De Saussure
            Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.
            Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
            Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland Barthes
            Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
            Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
            Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
            Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
            Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Charles Sanders Peirce
            Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

            Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Semiotika Michael Riffaterre
            Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).
1.      Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi
            Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam membawakan maknanya (Faruk, 2012:141). Bahasa puisi bersifat semiotik sedangkan bahasa sehari-hari bersifat mimetik.
            Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya pergeseran makna (displacing), perusakan makna (distorsing), dan penciptaan makna (creating) (Riffaterre dalam Faruk, 2012:141).
a.      Pergeseran Makna (Displacing of Meaning)
            Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab terjadinya pergeseran makna adalah penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.
b.      Perusakan atau Penyimpangan Makna (Distorsing of Meaning)
            Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi, dan non-sense. Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya. Kontradiksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Non-sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4).
c.       Penciptaan Makna (Creating or Meaning)
            Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza” (Riffaterre dalam faruk, 2012:141). Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya: enjambemen, tipografi, dan homolog.
            Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
            Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan homolog adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama (Salam, 2009:5).
            Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas. Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ketidakgramatikalan (ungrammaticality).
            Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas. Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak kronologis.
2.      Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
            Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan, pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama.
            Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang berhubungan.
            Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian makna dan arti. Riffaterre dalam Faruk (2012:141) membedakan konsep makna dan arti. Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan dengan realitas, yang membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistik yang bersifat referensial dari karya disebut meaning, yang dapat diterjemahkan  sebagai “makna”, sedangkan makna yang terbangun atas dasar prinsip kesatuan formal dan semantik dari puisi, makna yang meliputi segala bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai significance yang dapat diterjemahkan sebagai “arti” (Faruk, 2012:142).
            Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan “arti” (significance) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa makna sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan arti bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks.
Pada tataran pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan “makna” sebuah teks, sedangkan “arti” diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
3.      Matriks, Model, dan Varian
            Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (pu­isi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian ka­limat atau kalimat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.
            Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.
4.      Hipogram: Hubungan Intertekstual
            Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard dalam Salam, 2009:7).
            Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau  alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
            Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang” (Faruk, 2012:147).
            Menurut Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui berbagai bentuk objektivitasnya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi matriks atau hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah menemukan “makna” kebahasaan dari puisi yang bersangkutan. “Makna” kebahasaan itu adalah makna referensial yang berupa rangkaian ketidakgramatikalan (ungramatically), yaitu ketidaksesuaian antara satuan-satuan tanda kebahasaan yang ada di dalam teks dengan gambaran mengenai kenyataan yang diacunya. Karena “makna” ini bersifat kebahasaan, maka ia dapat ditemukan di dalam teks puisi yang diteliti atau dibaca. Hanya saja satuan-satuan makna kebahasaan itu sendiri belum memadai untuk membawa pembaca pada pengetahuan mengenai “arti” melainkan hanya menjadi “pengantar” ke arahnya. Satuan-satuan makna kebahasaan itu, yang berupa serangkaian ketidakgramatikalan tersebut, harus dihubungkan satu sama lain secara oposisional sehingga membentuk pasangan-pasangan oposisi yang saling ekuivalen dan bersifat paradigmatik. Untuk membentuknya menjadi pasangan-pasangan oposisional yang paradigmatik tersebut, pembaca harus melakukan pembacaan secara hermeneutik dan pembacaan dengan bantuan “konvensi sastra”. Konvensi sastra berfungsi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang dapat mempertemukan satuan-satuan makna kebahasaan yang satu dengan yang lain, untuk melampaui secara bertahap serangkaian ketidakgramatikalan yang ada (Faruk, 2012:148).

Teori Roman Jackobson
            Ada beberapa faktor yang di utarakan oleh Roman Jackobson yang mempengaruhi fungsi bahasa.  Yaitu factor pesan yang apabila sebuah komunikasi ditekankan pada pesan, maka dikatakan bahwa bahasa mengandung fungsi puitik atau fungsi estetis. Fungsi puitik ditandai oleh antara lain perulangan, penyimpangan, penonjolan, atau keambiguan. Bila di tinjau dari segi strukturalis semua itu menyangkut segi penanda (ekspresi) dan petanda (isi). Jakobson mengungkapkan salah satu fungsi dari pesan-pesan tersebut adalah penggunaan alat-alat literature sebagai metapora dan metonimi. Fungsi puitik ini juga dapat di jumpai dalam berbagai konteks tidak hanya dalam teks sastra saja akan tetapi dapat dijumpai dalam surat artikel surat kabar, ceramah, dan lain sebagainya. Jakobson mengungkapkan bahwa setiap produksi verbal dapat memiliki fungsi puitik selama memenuhi sifat-sifat atau syarat-syarat yang telah di sebutkan di atas.
            Jakobson juga berpendapat bahwa hal penting dalam fungsi puitik bukanlah referensi, acuan di luar ungkapan bahasa itu. Pemakaian bahasa dan kata merupakan hal yang menjadi pusat perhatian, walaupun fungsi-fungsi lain bukan tidak ada dalam puisi. Dalam puisi, hal yang paling penting diambil hanya pesan saja.
            Dalam analisis puisi juga memperhatikan tiga aspek yakni: ekuivalensi, metafora, dan metonimi. Dalam menganalisis puisi, Jakobson mengemukakan bahwa pembaca perlu membedakan antara poros sintagmatik dan paradigmatic.  Pada poros sintagmatik, penyair memakai kaidah bahasanya dengan menggabungkan (kombinasi) kata-kata sesuai dengan daya ciptanya. Sedangkan pada poros paradigmatic, penyair melakukan seleksi dari sekian banyak kata atau struktur sintaksis yang ia kenal dalam bahasanya. Seleksi tersebut dilakukan berdasarkan kesepadanan (equivalence), keserupaan dan ketidakserupaan (similarity and dissimilarity), atau kesinoniman dan keantoniman (synonymyty and antonymity). Dengan demikian, proses seleksi sama pentingnya dengan proses penggabungan kata.
            Dua figur retorik pokok, metafora dan metonimi, merupakan figur ekuivalensi dalam arti bahwa keduanya secara khas mengajukan suatu entitas yang berbeda sebagai hal yang mempunyai status ekuivalensi dengan apa yang menjadi subjek pokok figur. Dalam puisi menurut Jakobson beroperasi dua aspek dasar struktur bahasa, yakni gambaran metaphor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan).
            Pada garis besarnya metafora mendasarkan diri pada persamaan atau analogi antara subjek harfiah dan substansi metaforikanya. Istilah metafora, dapatnya mengacu pada gejala pergantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah kata lain yang figurative. Dan yang menjadi penggantian ini adalah kemiripan atau analogi di antara yang harfiah dan penggantiannya yang metaforik.
            Disamping itu, ketika kita menganalisis puisi sebuah karya terutama puisi kita dapat memfokuskan pada dua hal yaitu poros sintagmatik dan paradigmatic.
            Mengenai poros sintagmatik, disini pengarang mengekspresiskan sesuatu dengan mencarikan analogi atau persamaannya secara figurative yang dapat merepresantasikan hal yang dimaksud. Disini penyair menggabungkan kata seperti shadow,move, dancing, writing. Sehingga tanpa kita sadari kata-kata tersebut saling berkesinambungan  untuk menjelaskan sebuah makna dan keadaan yang dimaksud oleh pengarang.
            Dan berdasarkan paradigmatic,  penyair disini mengambil kata-kata yang lebih dekat atau lebih dapat mereplesikan kata yang dimaksud. Sehingga secara teliti atau analisa, pembaca dpaat memahami tujuan yang dimaksud.

Teori Tzvetan Todorov
            Bagi fenomologi serta Tzvetan Todorov, system kesastraan yang melahirkan adanya media sekunder itulah yang seharusnya bersifat primer. Sementara bagi hermeneutika serta semiotika, bahasa dengan sistem kebahasaan yang ada tetap merupakan media primer. Kesamaannya, system kesastraan itu sama-sama merupakan stuktur yang abstrak. Bagi Tzvetan Todorov, meskipun teks sastra umumnya mengandung struktur abstrak, interpretasi yang diberikan pembaca diharapkan bertolak dari realitas yang ada dalam teks. Biarkanlah teks itu yang berbicara sendiri, dan bukan pembacanya agar setiap teks sastra mampu menjadi deskripsinya sendiri yang paling baik. Hermeneutika, sebagai salah satu aliran dalam telaah sastra, mengharapkan kehadiran seluruh aspek yang secara kongruen menunjang terbentuknya teks sastra itu sebagai media utama dalam upaya memahami makna teks sastra. Unsur-unsur itu meliputi latar kesejarahan pengarang, unsur sosial-budaya, proses kreatif penciptaan, serta dunia yang Teori Membaca Tzvetan Todorov vdiciptakan pengarang lewat teks sastra.  Dalam teori membaca model Tzvetan Todorov disebutkan adanya tiga unsur yang hadir dalam kegiatan membaca, meliputi : 1. Proyeksi 2. Komentar, dan 3. Puitika Dalam proyeksi, kegiatan pembaca adalah berusaha memahami unsur-unsur diluar teks, tetapi yang secara kongruen atau secara laras dan bersama-sama menunjang kehadiran teks. Unsur-unsur itu antara lain meliputi kehidupan pengarang, kehidpan sosial masyarakat yang melatari kehadiran teks sastra serta sistem konvensi yang dianuti pengarangnya. Bila dalam proyeksi pembaca berusaha memahami unsur-unsur luar yang diasumsikan memiliki hubungan dengan isi paparan dalam teks, maka dalam komentar, pembaca berusaha memahami isi paparan dalam teks itu sendiri. Sasaran komentar tidak belaku untuk seluruh paparan, akan tetapi terbatas pada bentuk papran yang “tersisa” dari jangkauan pemahaman pembaca. Dalam komenta itu kegiatan yang dilaksanakan pembaca adalah : a. Eksplikasi Yakni, menguraikan isi paparan yang belum dipahami dengan jalan menghubungkannya dengan isi bagian paparan lain yang sudah dipahami. b. Elusidasi Yakni, menerangjelaskan hasil uraian isi paparan yang belum dipahami dalam kaitannya dengan bagian isi paparan yang lainnya secara umum. c. Précis Yakni, meringkas uraian panjang lebar tentang isi paparan yang belum dipahami sesuai dengan ketepatan dan keselarasannya dengan isi dalam bagian lain dari teks itu sendiri. Kegiatan teakhir yang dilaksakan adalah paraphrase Pada tahap puitika, pembaca berusaha memahami kaidah-kaidah abstrak yang secara intrinsic terdapat dalam teks sastra itu sendiri. Dan berbicara tentang sistem abstrak adalah kesastraan, kita tentunya juga tidak dapat lepas dari unsur-unsur intrinsik pembangun teks sastra tersebut sebagai suatu wacana. Oleh sebab itulah, bila pada komentar kegiatan membaca bersifat otomatis sekaligus sistematis karena objek yang dihadapi adalah bentuk paparan yang bersifat objektif serta memiliki struktur kongkret, maka dalam kegiatan membaca teks sastra yang sebenarnya, pembaca berusaha memahami unsur pembangun sistem abstrak yang ada. Perolehan pemahaman terhadap unsure pembangun teks yang semula unik itu, setelah dapat dihubungkan dengan perolehan pemahaman dari kegiatan yang bersifat otomatis dan dapat ditentukan hubungan sistemiknya, keunikan dan keabstrakannya dapat diuraikan. Dalam upaya memahami makna yang terkandung dalam struktur abstrak terdapat dua kegiatan, yakni : 1. Interpretasi 2. Deskripsi Interpretasi terhadap makna dalam teks sastra, dalam hal ini harus bertolak dari realitas yang ada dalam teks sastra itu sendiri. Menurut Todorov, meskipun banyak orang yang menafsirkan teks sastra lewat filsafat, sosiologi, maupun psikologi, pada akhirnya makna yang diperoleh adalah makna yang hanya berhubungan dengan disiplin ilmu tersebut masing-masing, dan bukan makna yang diperiksa oleh teks sastra itu sendiri. Sebab itulah setelah interpretasi, masih terdapat tingkatan berikutnya, yaitu deskripsi. Meskipun kata deskripsi sangat ilmiah untuk mengkaji ragam seni seperti sastra, bagi Todorov istilah itu memiliki nuansa arti tersendiri. Bila dalam penelitian ilmiah metode deskripsi adalah metode yang bertujuan memberikan perolehan realitas yang diteliti apa adanya, maka tahap pendeskripsian makna dalam teks sastra diharapkan sepenuhnya bertolak dari makna yang terkandung dalam Pemaknaan Bentuk Lewat Semiotika Semiotika vteks sastra itu sendiri.  juga sering disebut strukturalisme semiotik.
Teori Membaca Tzvetan Todorov
            Dalam teori membaca model Tzvetan Todorov disebutkan adanya tiga unsur yang hadir dalam kegiatan membaca, meliputi :
1.                   Proyeksi
2.                   Komentar, dan
3.                   Puitika
            Dalam proyeksi, kegiatan pembaca adalah berusaha memahami unsur-unsur diluar teks, tetapi yang secara kongruen atau secara laras dan bersama-sama menunjang kehadiran teks. Unsur-unsur itu antara lain meliputi kehidupan pengarang, kehidpan sosial masyarakat yang melatari kehadiran teks sastra serta sistem konvensi yang dianuti pengarangnya.
Bila dalam proyeksi pembaca berusaha memahami unsur-unsur luar yang diasumsikan memiliki hubungan dengan isi paparan dalam teks, maka dalam komentar, pembaca berusaha memahami isi paparan dalam teks itu sendiri. Sasaran komentar tidak belaku untuk seluruh paparan, akan tetapi terbatas pada bentuk papran yang “tersisa” dari jangkauan pemahaman pembaca.
Dalam komentar itu kegiatan yang dilaksanakan pembaca adalah :
a. Eksplikasi
            Yakni, menguraikan isi paparan yang belum dipahami dengan jalan menghubungkannya dengan isi bagian paparan lain yang sudah dipahami.
b. Elusidasi
            Yakni, menerangjelaskan hasil uraian isi paparan yang belum dipahami dalam kaitannya dengan bagian isi paparan yang lainnya secara umum.
c. Précis
            Yakni, meringkas uraian panjang lebar tentang isi paparan yang belum dipahami sesuai dengan ketepatan dan keselarasannya dengan isi dalam bagian lain dari teks itu sendiri.
Kegiatan teakhir yang dilaksakan adalah paraphrase
Pada tahap puitika, pembaca berusaha memahami kaidah-kaidah abstrak yang secara intrinsic terdapat dalam teks sastra itu sendiri. Dan berbicara tentang sistem abstrak adalah kesastraan, kita tentunya juga tidak dapat lepas dari unsur-unsur intrinsik pembangun teks sastra tersebut sebagai suatu wacana. Oleh sebab itulah, bila pada komentar kegiatan membaca bersifat otomatis sekaligus sistematis karena objek yang dihadapi adalah bentuk paparan yang bersifat objektif serta memiliki struktur kongkret, maka dalam kegiatan membaca teks sastra yang sebenarnya, pembaca berusaha memahami unsur pembangun sistem abstrak yang ada. Perolehan pemahaman terhadap unsure pembangun teks yang semula unik itu, setelah dapat dihubungkan dengan perolehan pemahaman dari kegiatan yang bersifat otomatis dan dapat ditentukan hubungan sistemiknya, keunikan dan keabstrakannya dapat diuraikan.
Dalam upaya memahami makna yang terkandung dalam struktur abstrak terdapat dua kegiatan, yakni :
1. Interpretasi
2. Deskripsi
            Interpretasi terhadap makna dalam teks sastra, dalam hal ini harus bertolak dari realitas yang ada dalam teks sastra itu sendiri. Menurut Todorov, meskipun banyak orang yang menafsirkan teks sastra lewat filsafat, sosiologi, maupun psikologi, pada akhirnya makna yang diperoleh adalah makna yang hanya berhubungan dengan disiplin ilmu tersebut masing-masing, dan bukan makna yang diperiksa oleh teks sastra itu sendiri.
            Sebab itulah setelah interpretasi, masih terdapat tingkatan berikutnya, yaitu deskripsi. Meskipun kata deskripsi sangat ilmiah untuk mengkaji ragam seni seperti sastra, bagi Todorov istilah itu memiliki nuansa arti tersendiri. Bila dalam penelitian ilmiah metode deskripsi adalah metode yang bertujuan memberikan perolehan realitas yang diteliti apa adanya, maka tahap pendeskripsian makna dalam teks sastra diharapkan sepenuhnya bertolak dari makna yang terkandung dalam teks sastra itu sendiri.
            Bagi Todorov adalah lebih baik berspekulasi, sambil juga meraba-raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, daripada merasa memiliki pemahaman tetapi masih buta, dan nekat bergerak membabi buta.


2 komentar:

  1. Hai, boleh minta sumbernya dari mana ya? Makasih

    BalasHapus
  2. Hai apakah teori umberto eco blm dicantmkan dalam artikel ini?

    BalasHapus